Kepemimpinan Jenderal (Purn) TNI Soegito

by -143 Views

Pada awal saya lulus dari Sekolah Komando, saya ditempatkan pertama kali di Korps Baret Merah, tepatnya di Grup 1 Para Komando. Saat itu, Korps Baret Merah masih dikenal dengan nama Kopassandha, yaitu Komando Pasukan Sandi Yudha. Danjen pada waktu itu adalah Brigadir Jenderal TNI Yogie S. Memet, yang kemudian menjadi Letnan Jenderal TNI.

Komandan dari grup saya, yaitu Grup 1 Para Komando, pada waktu itu adalah Letnan Kolonel Soegito, yang kemudian menjadi Kolonel. Beliau adalah seseorang yang tinggi, kekar, dan besar. Walaupun saya belum begitu dekat dengan beliau karena saya masih dalam pangkat Letnan Dua, namun ada sesuatu yang menarik dari kepemimpinan Pak Soegito yang dapat saya petik.

Ketika saya bergabung, Pak Soegito sedang berada di Timor Timur. Beliau memimpin penerjunan di Kota Dili di Timor Timur pada tanggal 7 Desember 1975. Setelah kembali dari Timor Timur, sekitar bulan Januari atau Februari 1976, beliau menceritakan pengalamannya dalam operasi penerjunan di sana.

Pak Soegito selalu mengingatkan bahwa seorang prajurit harus siap untuk mati dan siap untuk berperang. Tidak ada perbedaan dalam perang antara seorang prajurit Tamtama yang memiliki pangkat rendah, atau seorang komandan dengan pangkat tertinggi. Semua orang di kesatuan itu menghadapi risiko yang sama.

Beliau juga mengatakan bahwa seorang pemimpin harus berada di tengah-tengah anak buahnya. Dan itulah yang dilakukan oleh Pak Soegito. Beliau terlibat dalam serbuan bersama pasukannya dan ikut dalam pertempuran di Dili hingga Dili berhasil dikuasai sepenuhnya.

Pak Soegito menceritakan tentang para perwira yang gugur dan terluka di Timor Timur. Dari cerita beliau, kami dapat mengerti seberapa berbahayanya operasi tempur, namun hal tersebut justru membuat kami yang masih muda semakin bersemangat untuk turut serta dalam operasi tersebut. Kami ingin membuktikan bahwa kami tidak kalah dengan para senior kami. Kami ingin membuktikan bahwa kami juga adalah prajurit TNI yang setia dan patriotik.

Setelah kembali dari operasi, saya dapat melihat kepemimpinan Pak Soegito dengan mata kepala sendiri. Beliau selalu berlari bersama anak buahnya. Beliau selalu membawa senjata, walaupun beliau sudah menjadi komandan dari grup tersebut. Sekiranya beliau ingin, beliau dapat saja tinggal di kantor dan tidak perlu keluar. Namun beliau selalu aktif di lapangan.

Jika ada pertandingan basket sore hari, beliau selalu turut bermain bersama kami, para perwira. Pada malam hari, sering kali kami diundang untuk bermain gaplek dan domino di rumah beliau. Begitulah suasana di TNI pada tahun-tahun itu, penuh dengan keakraban. Pemimpin selalu bersama dengan anak buahnya. Beliau juga humoris dan sering kali bercanda.

Ketika saya melihat karier beliau, beliau selalu di barisan terdepan. Bahkan hingga pensiun pun, beliau tetap sederhana dan tidak hidup dengan kemewahan. Kehidupan beliau benar-benar kehidupan seorang prajurit sejati. Saya merasa bersyukur bahwa beliau pensiun sebagai Letnan Jenderal TNI.