Birgadir Jenderal TNI (Purn) Aloysius Benedictus Mboi

by -147 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku Kepemimpinan Militer 1: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto]

Dokter Ben Mboi, saya bertemu dengannya setelah beliau pensiun cukup lama. Beliau pensiun sebagai tentara maupun sebagai gubernur Nusa Tenggara Timur. Di kalangan TNI, beliau terkenal sebagai seorang dokter militer yang ikut terjun dengan pasukan baret merah (RPKAD) yang diterjunkan di Merauke pada saat operasi pembebasan Irian Barat. Waktu itu komandan kompi yang diterjunkan adalah Kapten Benny Moerdani yang kemudian sempat menjadi Menhan dan Pangab pada tahun 1980-an. Pak Ben Mboi adalah dokter yang berada di kompinya Pak Benny Moerdani yang ikut terjun dalam operasi di Merauke.

Dalam beberapa kali pertemuan saya dengan Pak Ben Mboi ada kisah-kisah yang beliau ceritakan. Antara lain beliau cerita tentang kisah waktu menaiki pesawat Hercules untuk terjun di Irian Barat. Waktu itu yang melepas adalah Panglima Komando Mandala yaitu Mayor Jenderal TNI Soeharto yang kemudian menjadi jenderal dan akhirnya menjadi Presiden Republik Indonesia. Pak Ben Mboi menceritakan bahwa pasukan yang dipimpin Pak Benny Moerdani itu, termasuk di dalamnya Pak Ben Mboi yang masih berpangkat Letnan Satu waktu itu, diapelkan di sebelah Pesawat Hercules yang mesinnya sudah bunyi. Jadi di bawah desing mesin pesawat Hercules yang sangat bising, Pak Harto menyampaikan sambutan yang sangat singkat.

Menurut Pak Ben Mboi, berikut kata-katanya Pak Harto: “Sebentar lagi saudara-saudara akan berangkat untuk diterjunkan di daerah Merauke dalam rangka operasi merebut kembali Irian Barat. Dua tim sebelum kalian sudah diterjunkan beberapa minggu lalu sampai hari ini tidak ada kontak dengan mereka. Kemungkinan kalian tidak kembali lebih dari 50%. Saya beri waktu tiga menit kalau ada di antara kalian yang ragu-ragu, yang tidak mau berangkat silakan keluar barisan.”

Menurut Pak Ben Mboi tidak ada yang keluar barisan. Pak Harto melihat jamnya dan setelah tiga menit memerintahkan semua pasukan agar naik pesawat. Menurut Pak Ben Mboi kepada saya, seandainya Pak Harto memberi lebih dari 5 menit, jangan-jangan banyak yang keluar barisan. Itulah cerita yang heroik walaupun agak lucu juga. Dalam hati, bisa saja Pak Ben Mboi benar kalau orang-orang dikasih waktu berpikir lebih lama, “waduh bisa-bisa 50% saya tidak kembali bertemu keluarga saya.” Mungkin itulah semangat heroisme saat itu yang melanda seluruh bangsa Indonesia.

Ada cerita menarik lainnya yang ia sampaikan setelah pensiun dari gubernur. Saat itu, anak buahnya, dan stafnya baru sadar bahwa Pak Ben Mboi tidak punya rumah. Jadi mereka mulai menggalang dana dan mendapat dukungan dari pemerintah daerah dan juga beberapa pengusaha lokal untuk membangun rumah Pak Ben Mboi. Faktanya, Indonesia memiliki banyak prajurit hebat yang mengabdikan seluruh karirnya untuk negara, dan pensiun tanpa rumah. Itu berarti mereka tidak melakukan korupsi atau mencari keuntungan pribadi, namun tidak diberi imbalan yang pantas. Karena mereka sangat dihormati oleh bawahan mereka selama bertahun-tahun, para anak buah ini menemukan cara untuk mendapatkan cukup uang untuk membangun rumah untuk komandan mereka setelah komandan mereka pensiun.

Satu hal pelajaran yang saya terima dari Pak Ben Mboi adalah dia mengatakan: “Prabowo, kalau mau jadi pemimpin yang baik, saya hanya bisa anjurkan 2 hal. First, love your people and second, use your common sense, kau tidak akan meleset.”
Itulah yang selalu saya ingat. Kalau jadi pemimpin kita harus cintai rakyat, cintai anak buah kita. Kemudian kita harus gunakan akal sehat, tidak usah terlalu mengada-ada, kalau kita pakai akal sehat biasanya pasti akan berhasil. Dari situ saya ingat akan pepatah Jawa “Ojo Rumongso Iso, Nanging Iso Rumongso.” Pemimpin jangan merasa bisa tetapi harus bisa merasakan perasaan, penderitaan, dan kebutuhan orang lain. Itu ucapan- ucapan filosofi yang sangat mendalam bagi saya. Dari Pak Ben Mboi, “Love Your People, Use Your Common Sense” itu dipakai sebagai pegangan saya.

Source link