Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]
Pada tanggal 5 Oktober 1945, embrio Angkatan Udara Indonesia terbentuk. Surjadi Suryadarma, yang memimpin kekuatan itu, memanggil Adisoetjipto untuk membantu membentuk angkatan udara karena kondisi saat itu sangat mengkhawatirkan. Tidak ada pilot, mekanik pesawat udara, dan dana. Hanya ada beberapa pesawat tua yang ditinggalkan oleh Jepang.
Adisoetjipto adalah salah satu dari sedikit yang berani terbang dengan pesawat Jepang tua. Pada tanggal 10 Oktober 1945, dia berhasil terbang dengan pesawat Nishikoren yang dicat merah putih dari Tasikmalaya ke Maguwo, Yogyakarta. Pada tanggal 27 Oktober 1945, dia berhasil terbang dengan pesawat Cureng yang ditandai dengan bendera Indonesia merah putih di sekitar Yogyakarta. Dia melakukan itu bukan tanpa alasan. Dia melakukan itu untuk memompa semangat perjuangan rakyat.
Pada tahun 1947, pemerintah Indonesia menugaskan Adisoetjipto dan rekan-rekannya untuk mencari obat-obatan untuk Palang Merah Indonesia. Bantuan diperoleh dari Palang Merah Malaya, sementara seorang pedagang India menyediakan pesawat transportasi Dakota VT-CLA. Ini adalah penerbangan publik. Misi kemanusiaan itu mendapat persetujuan dari Belanda dan Inggris.
Namun, pada tanggal 29 Juli 1947, ketika pesawat hendak mendarat di Maguwo, pemburu Kitty Hawk Belanda tiba-tiba muncul dan mulai menembaki Dakota, dengan Tjipto dan rekan-rekannya di atasnya. Pesawat terbakar dan jatuh. Tjipto dan tujuh rekannya tewas. Hanya satu di antara mereka yang selamat. Tak seorang pun tahu mengapa Belanda melanggar perjanjian, tapi diduga, mereka ingin membalas dendam kepada kadet Indonesia yang telah membom Belanda.