Perbedaan Pendapat Antara Anies dan Prabowo Mengenai Rencana Pembentukan Badan Penerimaan Negara

by -112 Views

Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, keduanya ingin membentuk Badan Penerimaan Negara jika mereka menang dalam Pilpres 2024.

Dalam dokumen visi, misi, dan program kerja yang berjudul “Indonesia Adil Makmur untuk Semua”, Anies-Muhaimin menyatakan pembentukan badan tersebut sebagai bagian dari agenda misi 2 dalam aspek Kelembagaan Keuangan Negara yang berintegritas dan akuntabel, serta melalui pembagian kewenangan yang harmonis antar instansi.

Mereka berencana untuk merealisasikan badan penerimaan negara di bawah pengawasan langsung Presiden untuk meningkatkan integritas dan koordinasi antar instansi guna meningkatkan penerimaan negara.

Pasangan Prabowo-Gibran juga mencantumkan agenda pembentukan badan tersebut sebagai bagian dari 8 program hasil terbaik cepat untuk meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 23%. Ini tertuang dalam dokumen visi, misi, dan program kerja yang berjudul “Bersama Indonesia Maju”.

Mereka berpendapat bahwa sebagian pembangunan ekonomi perlu dibiayai oleh anggaran pemerintah. Oleh karena itu, anggaran pemerintah perlu ditingkatkan dari sisi penerimaan yang bersumber dari pajak dan bukan pajak (PNBP), sehingga diperlukan badan khusus untuk mengoptimalkan penerimaan.

Namun, rencana pembentukan badan tersebut mendapat kritik dari kalangan akademisi di universitas. Mereka berpendapat bahwa rencana tersebut bisa meningkatkan inefisiensi dalam organisasi birokrasi pemerintah. Selain itu, rencana ini juga dianggap mirip dengan rencana pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan yang pernah ada pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Wahyu Widodo, seorang ekonom dari Universitas Diponegoro, menilai bahwa pembentukan badan baru akan menambah beban anggaran dengan adanya lembaga baru di bawah presiden. Menurutnya, kinerja Kementerian Keuangan dalam mereformasi direktorat yang bertanggung jawab pada penerimaan negara sudah cukup baik.

Wahyu berpendapat bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah perbaikan data wajib pajak dan pengurangan beban tarif dan administrasi perpajakan untuk mengoptimalkan penerimaan negara.

Eddy Junarsin, seorang ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM), juga berpendapat bahwa yang lebih penting adalah fokus pada upaya untuk menurunkan tarif pajak agar meningkatkan kepatuhan, rasio pajak, dan penerimaan negara.

Menurutnya, penurunan tarif pajak dengan aturan yang jelas akan menghasilkan efek multiplier yang lebih tinggi. Jika perusahaan tumbuh dan pengangguran berkurang, maka akan terjadi peningkatan pendapatan negara.

Pada akhirnya, banyak kalangan yang berpendapat bahwa yang dibutuhkan adalah upaya untuk meningkatkan efisiensi dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan, bukan pembentukan badan baru.