Diperlukan Insentif dalam Menghadapi Tantangan Penggunaan Bioavtur

by -124 Views

Indonesia mencatat sejarah baru dalam industri penerbangan dengan berhasil menerbangkan pesawat menggunakan Sustainable Aviation Fuel (SAF) pada tanggal 28 Oktober 2023. Namun, penggunaan SAF sebagai bioavtur tidaklah tanpa tantangan. Penggunaan SAF ini diproyeksikan akan menambah beban bagi maskapai dan konsumen.

Aika Yuri Winata, GM Green Energy dari Apical Group, mengungkapkan bahwa biaya tambahan yang timbul akibat adopsi SAF diperkirakan akan mencapai miliaran dan triliunan dolar bagi produsen bahan bakar. Hal ini akan menyebabkan kenaikan harga tiket pesawat rata-rata sebesar US$ 3 hingga US$ 14 pada tahun 2030 dan US$ 13 hingga US$ 38 pada tahun 2050 untuk perjalanan udara yang lebih berkelanjutan.

Meskipun demikian, Aika menilai SAF sebagai alternatif yang paling menjanjikan dan layak untuk mengurangi emisi CO2 pesawat hingga 90%. Saat ini, penggunaan SAF masih hanya menyumbang kurang dari 0,1% dari penggunaan bahan bakar pesawat.

Untuk mempercepat adopsi SAF dan melakukan dekarbonisasi perjalanan udara, penting untuk memanfaatkan kekuatan wilayah ASEAN. ASEAN memiliki ketersediaan dan aksesibilitas limbah dan sisa yang besar, potensi penghematan emisi gas rumah kaca yang signifikan, dan produk derivatif yang berkelanjutan. Negara-negara ASEAN juga memiliki minyak limbah dan sisa sebanyak lebih dari 16 juta metrik ton setiap tahun, dengan potensi bahan baku seperti minyak jelantah, limbah pabrik kelapa sawit, minyak tandan buah kosong, dan distilasi asam lemak kelapa sawit.

Aika juga menekankan bahwa harga relatif dan penghematan emisi gas rumah kaca adalah pertimbangan utama dalam produksi SAF dari bahan baku tersebut. Perkembangan SAF di ASEAN membutuhkan intervensi kebijakan seperti mandat dan skema insentif, penyelarasan kebijakan dengan standar internasional, dan implementasi pembiayaan berkelanjutan melalui kebijakan dan pinjaman penerbangan.

Permintaan yang kuat dari berbagai pemain pasar, seperti maskapai, pengangkut kargo udara, dan konsumen, akan mendorong peningkatan produksi SAF. Pada akhirnya, hal ini akan mengurangi biaya SAF sehingga lebih kompetitif dengan bahan bakar pesawat konvensional.

Pertamina, perusahaan energi negara, juga telah siapkan infrastruktur penyaluran SAF di Indonesia.