Keterlambatan Peringatan Dini Tsunami dalam Cerita Bos BMKG

by -183 Views

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengungkapkan perkembangan sistem peringatan dini bencana di Indonesia. Pada tahun 2004, saat terjadi gempa dan tsunami di Aceh, sistem peringatan dini masih belum memadai. Hanya terdapat 25-50 sensor seismograf dan pengolahannya dilakukan secara manual. BMKG kesulitan dalam menentukan posisi gempa bumi yang berpotensi tsunami atau tidak.

Namun, BMKG kemudian membangun sistem peringatan dini yang lebih baik, terutama untuk potensi tsunami yang dipicu gempa Megathrust. Gempa tersebut memiliki kekuatan besar, seperti yang terjadi di Aceh 20 tahun lalu. Jaringan seismograf menghadap zona megathrust, dan BMKG belum memikirkan adanya tsunami non-seismik pada saat itu.

Dwikorita menjelaskan bahwa terdapat tsunami non-seismik yang terjadi di Indonesia, namun saat itu peringatan dini tsunami belum siap. Hal ini terbukti saat terjadi tsunami di Palu. Kejadian tersebut menjadi pelajaran penting untuk menyempurnakan sistem peringatan dini agar dapat mendeteksi tsunami non-seismik dengan cepat.

BMKG terus bekerja keras untuk mengejar kemajuan teknologi dan mencegah korban jiwa dan kerugian ekonomi akibat tsunami. BMKG bekerja sama dengan BNPB, perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk membangun kekuatan masyarakat serta kesiapan yang lebih tangguh. Tujuan yang diharapkan adalah 100% masyarakat di daerah rawan tsunami selalu siap dalam menyelamatkan diri dan mewujudkan Safe Ocean.

Dwikorita menekankan pentingnya kearifan lokal dalam menyelamatkan masyarakat. Selain mengandalkan teknologi, kearifan lokal terbukti efektif dalam menyelamatkan jiwa manusia. BMKG mengingatkan bahwa tidak boleh terlalu puas dengan teknologi, karena masih banyak kekurangan yang harus ditemukan dan diperbaiki.

[Video terkait: BMKG Ungkap Potensi Ancaman Tsunami 10 Meter di Selatan Jawa!]

Penulis: (dce)