Ketua Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu, mengingatkan tentang kondisi ekosistem pers yang tidak kondusif saat ini. Hal ini disampaikan pada peluncuran hasil survei yang dilakukan Dewan Pers bersama Universitas Multimedia Nasional (UMN) tentang industri media di Gedung Dewan Pers, Jakarta, pada Rabu (12/6/2024).
“Saat ini, ekosistem pers tidak sehat, baik dari segi ekonomi maupun konten. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesiapan dalam menghadapi era digital. Kesiapan ini tidak bisa dilakukan dengan cepat,” kata Ninik seperti dilansir dari laman resmi dewan pers.
Ninik meminta semua pihak untuk memikirkan langkah solutif ini, tidak hanya Dewan Pers dan insan pers, tetapi juga melibatkan semua pemangku kepentingan. Kehadiran pers sangat penting bagi masyarakat Indonesia.
Ia menegaskan bahwa hasil penelitian yang dilakukan Dewan Pers bekerja sama dengan peneliti dari UMN memberikan gambaran tentang kesulitan yang dihadapi industri media secara umum. Terutama dengan adanya disrupsi teknologi digital yang berdampak pada pendapatan. Beberapa media bertahan dengan berbagai cara, dan Dewan Pers telah melakukan inovasi untuk mendukung para pelaku media.
Bagi mereka yang telah berkomitmen pada pers sejak awal, Ninik yakin bahwa mereka akan tetap berpegang teguh dan beradaptasi dengan dunia digital sambil tetap mendukung jurnalisme berkualitas. Namun adaptasi ini memerlukan kerja sama dari semua pihak agar ekosistem digital tidak terganggu dan berdampak negatif pada dunia pers.
Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Dewan Pers, A Sapto Anggoro, mengungkapkan bahwa saat ini terdapat 1.800 media yang terverifikasi oleh Dewan Pers, dengan rincian 1.015 media siber, 377 televisi, 18 radio, dan 442 media cetak. Data penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan media cenderung terpusat di wilayah Indonesia bagian Barat, terutama Sumatra dan Jawa.
Sapto menyebutkan bahwa adanya ketimpangan antara wilayah yang padat media dan wilayah yang masih membutuhkan lebih banyak media untuk melayani publik. Pada wilayah padat media, masalah yang muncul adalah persaingan untuk mendapatkan audiens dan iklan. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas konten pemberitaan dan media secara umum.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa disrupsi teknologi digital berdampak pada pendapatan media. Beberapa media mencoba mengembangkan strategi bisnis baru, namun ada juga yang bergantung pada platform digital seperti Google, Facebook, YouTube, Instagram, TikTok, dan lainnya.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan sinergi antara institusi pers, organisasi pers, Dewan Pers, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya untuk menghasilkan langkah strategis. Dewan Pers telah melakukan berbagai program dan kegiatan untuk mendorong perkembangan ekosistem pers yang sehat, termasuk verifikasi perusahaan pers, pendampingan peningkatan kapasitas media, uji kompetensi wartawan, dan mendukung peraturan tentang tanggung jawab platform digital dalam menyajikan jurnalisme berkualitas (Publisher Rights).
“Kita sekarang berada di era di mana sangat mudah untuk membuat media, namun sulit untuk menghidupinya,” ujar Sapto.
Menurut peneliti UMN, Dr Ignatius Haryanto, data dari asosiasi/ konstituen Dewan Pers menunjukkan bahwa Lampung memiliki jumlah media siber terbanyak, yaitu 417 media. Jumlah media siber dari konstituen mencapai 3.886, namun baru 36% yang terverifikasi oleh Dewan Pers.
Untuk media radio, terdapat total 549, dengan Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah radio terbanyak. Sedangkan media TV lokal dan swasta mencapai 57 stasiun. Haryanto menyebutkan perbedaan jumlah stasiun TV lokal dikarenakan pendataan oleh asosiasi difokuskan pada karya jurnalistik, sementara banyak stasiun belum mendaftarkan diri ke asosiasi.
Terkait dengan media cetak, terdapat 527 media di Indonesia dengan Jakarta memiliki jumlah terbanyak. Haryanto juga merekomendasikan Dewan Pers untuk mengawal Publisher Right dengan melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak.
Dengan adanya moratorium, Dewan Pers bisa fokus pada pengembangan ekosistem perusahaan pers yang lebih sehat dan mempromosikan perusahaan pers yang memperhatikan kualitas jurnalistik.