Kantor Wilayah Pajak Jakarta Selatan bekerja sama dengan Transmedia membuka layanan pelaporan SPT tahunan pajak di gedung bank
Jakarta, CNBC Indonesia – Penghasilan para pegawai pajak menjadi salah satu yang terbesar di antara para aparatur sipil negara (ASN), karena adanya tunjangan kinerja sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 37 tahun 2015. Meski penghasilan tinggi, para pegawainya masih ada yang kedapatan menjadi tersangka korupsi.
Dalam berbagai kesempatan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebenarnya sering mengatakan bahwa penghasilan atau remunerasi yang cukup seharusnya bisa meredam niatan untuk korupsi, sebagaimana pernah ia sampaikan pada 2019 lalu. Namun, kini statement Sri Mulyani mendapat kritikan dari beberapa kalangan.
“Menjadi pejabat dan ASN yang jujur itu adalah mungkin. Tapi kalau dulu nggak mungkin karena gajinya nggak memungkinkan untuk hidup. Satu alasan untuk korupsi, yaitu bahwa mereka nggak mungkin hidup jujur karena memang gajinya habis hanya untuk seminggu atau 10 hari,” ucap Sri Mulyani saat itu.
Analis senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita salah satunya. Menurut Ronny, remunerasi yang besar memang belum menjadi jaminan pejabat dan institusi pemerintah terbebas dari korupsi, karena remunerasi hanya satu di antara faktor-faktor yang mempengaruhi profesionalisme dan akuntabilitas pejabat negara.
“Apalagi, soal remunerasi ini sangat relatif sifatnya. Karena tak ada ukuran yang tepat untuk mengatakan bahwa sebuah remunerasi dianggap cukup atau besar. Yang ada adalah batas bawah, seperti UMR, yang mengambil base line dari ukuran kelayakan hidup minimal. Selama ini patokannya hanya secara komparatif, yakni remunerasi di institusi pemerintah yang lain,” kata Ronny kepada CNBC Indonesia, Rabu (1/11/2023).
Selain remunerasi yang telah tinggi, Ronny menganggap, faktor utama untuk menanggulangi sifat korup di instansi pemerintah adalah faktor institusi dan faktor pengawasan. Faktor institusi kata Ronny mencakup aturan atau regulasi, penerapan aturan, kepatuhan kepada norma moral, etos kerja yang berbasiskan kepada tanggung jawab tinggi, dan konsistensi dalam menerapkan sanksi.
“Jadi jika di dalam satu institusi pemerintah telah berjalan disiplin yang ketat, aturan main yang ketat mulai dari rekruitmen, norma etika dan moral yang jelas, yang memandang misuse of authority adalah kejahatan berat, etos kerja yang tinggi yang berorientasi pelayanan, dan penerapan sanksi tanpa pandang bulu, maka hampir pasti semua SDM yang ada di dalam institusi tersebut akan bekerja secara profesional, akuntabel, dan jauh dari korupsi,” tegasnya.
Untuk faktor pengawasan, Ronny menjelaskan, baik internal, eksternal, dan sosial, harus dilakukan mulai dari proses rekrutmen SDM sampai pada kerja-kerja teknis. Pelayanan pelaporan publik yang mudah juga termasuk ke dalam pengawasan, begitu juga dengan keterbukaan kepada media dan penerapan prinsip-prinsip transparansi secara umum.
“Jadi perpaduan intitusionalisasi birokrasi yang profesional dengan tingkat pengawasan yang ketat akan sangat berperan tidak saja dalam mencegah terjadinya korupsi dan berbagai macam penyalahgunaan wewenang lainnya, tapi juga mencegah objek pajak, misalnya, untuk mengajak SDM di DJP untuk melakukan penyalahgunaan wewenang,” tegas Ronny.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah lain pandangan. Ia menganggap perilaku koruptif yang dilakukan seorang pegawai tidak bisa dipermasalahkan dengan gaji atau tingginya pendapatan pada satu instansi. Sebab, menurutnya kasus korupsi banyak terjadi di berbagai tempat, termasuk perbankan bukan hanya Ditjen Pajak belaka.
“Di lembaga yang sudah dengan gaji tinggi seperti perbankan pun masih ada penyalahgunaan, atau korupsi. Menteri pun yang sudah berlimpah fasilitas masih bisa terjerembab kasus korupsi. Korupsi itu menyangkut mental personal, jangan digeneralisir,” ujar Piter.
Oleh sebab itu, Piter mengatakan, setiap perilaku koruptif dari seorang oknum tidak bisa serta merta disalahkan tidak bermanfaatnya remunerasi yang tinggi. Sebab, tindak pidana korupsi menurutnya berkaitan erat dengan mental dan perilaku individu.
“Oleh karena itu jangan berkesimpulan bahwa tunjangan dan sebagainya di kementerian keuangan khususnya DJP tidak bermanfaat dan harus dikembalikan seperti dulu. Itu kesesatan berpikir,” ucapnya.
Sebagai informasi, Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan telah menetapkan tiga pegawai pajak sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi dalam pemenuhan kewajiban perpajakan pada beberapa perusahaan. Ketiga pegawai itu berinisial RFG, NWP, dan RFH.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan pun telah memecat RFG sebagai PNS pegawai pajak setelah menjadi tersangka dugaan tindak pidana korupsi pajak oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan. NWP dan RFG masih diberi sanksi pembebasan tugas. Ketiganya bekerja di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Sumatera Selatan dan Bangka Belitung.
Kepala Kantor Wilayah DJP Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung Romadhaniah mengatakan, terhadap salah satu tersangka, yakni RFG telah dijatuhi hukuman tingkat berat berupa pemberhentian sebagai PNS. Sementara dua tersangka lainnya masih dalam proses pemeriksaan pemberian hukuman disiplin PNS dan telah dibebaskan dari pelaksanaan tugas.
“DJP tidak menolerir dan tidak ragu untuk memroses pelanggaran tersebut. Atas kasus ini