Selain krisis pangan akibat terhambatnya pasokan pupuk akibat perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan, pengusaha kelapa sawit di Tanah Air dipusingkan dengan ancaman dari aturan Uni Eropa.
Aturan tersebut yaitu Undang-undang Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Aturan ini memaksa eksportir produk kelapa sawit dari dunia, termasuk Indonesia, untuk membubuhkan sertifikat bebas deforestrasi serta informasi geo-location dari produk tersebut.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan EUDR menambah ketidakpastian bagi produk kelapa sawit yang terimbas ancaman krisis pangan dan energi.
“Dalam respons mengenai hal ini, kami berharap pemerintah Indonesia dapat mengambil langkah hati-hati bijaksana untuk menjaga daya saing dari industri minyak kelapa sawit Indonesia,” kata Eddy, dalam paparannya di IPOC 2023, Kamis (2/11/2023).
Selain itu, Eddy berharap pemerintah tidak mengeluarkan aturan yang bersifat counterproductive atau berlawanan serta berjuang untuk perdagangan bebas dan adil. Pasalnya, Eddy menilai setiap trade barrier atau hambatan perdagangan akan menambah beban pada biaya dan operasional industri.
Padahal, industri CPO adalah kontributor terbesar dari cadangan devisa Indonesia. Bahkan, sepanjang dua setengah tahun pada masa Covid-19, CPO tetap menjadi penyumbang utama. Bahkan, CPO menjadi penopang dari surplus neraca perdagangan selama ini.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan di tingkat global, EUDR merupakan inisiatif baru Uni Eropa untuk membatasi deforestasi yang disebabkan oleh kegiatan kehutanan dan pertanian di seluruh dunia.
Dampaknya akan menghantam tujuh komoditas, antara lain kelapa sawit, kopi, kakao, karet, kedelai, sapi, dan kayu. Hal ini, menurutnya, menjadi perhatian besar bagi pemerintah.
“Terlepas dari kekhawatiran kami, pemerintah masing-masing negara siap berkolaborasi dengan UE dalam membangun kerangka kerja yang mendorong pertanian berkelanjutan, termasuk produksi minyak nabati, dengan cara yang inklusif, holistik, adil, dan tidak diskriminatif,” papar Airlangga dalam acara yang sama.
Hal ini sangat penting bagi UE untuk melakukan dan mengakui sepenuhnya bahwa standar keberlanjutan nasional negara-negara produsen ini dapat memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk mengakses pasar Eropa.
“Dengan latar belakang ini, CPOPC (Dewan negara produsen sawit dunia) telah menjalin komunikasi intensif dengan komisi UE,” katanya.
Menurut Airlangga, enam tim kerja dihasilkan melalui diskusi tersebut, diantaranya inklusivitas petani kecil; skema sertifikasi yang relevan, ketertelusuran, data ilmiah mengenai deforestasi dan degradasi hutan, serta perlindungan data privasi.
EUDR diberlakukan sejak Mei 2023 lalu. Menurut pemerintah Uni Eropa, aturan baru itu diberlakukan untuk menekan laju deforestasi, serta mencegah berlanjutnya degradasi dan penyalahgunaan hutan.
Indonesia menilai EUDR pada dasarnya bersifat diskriminatif dan punitif serta tidak hanya akan berdampak buruk pada perdagangan internasional tetapi juga akan menghambat upaya industri kelapa sawit dalam mencapai Agenda 2030 untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).