Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menilai Indonesia perlu menggelar “karpet merah” bagi pengusaha atau investor di sektor migas. Hal ini penting dilakukan demi menggenjot kenaikan produksi, khususnya minyak.
Djoko mengatakan di Indonesia sendiri, pengusahaan migas telah menggunakan Production Sharing Contract (PSC) dengan skema cost recovery dan gross split. Ia pun berharap sistem kontrak kerja sama dan insentif migas di Indonesia dapat lebih bervariatif.
Misalnya saja seperti di Amerika Serikat yang mampu menggenjot produksinya hingga 6 kali lipat setelah menggunakan skema royalty and tax.
“Nah kita kasih selembar kertas di dalam dokumen lelang dia tinggal ngisi mau pakai jenis kontrak apa FTP-nya berapa royaltinya berapa, bagian negaranya berapa, tax-nya berapa. Sudah kita kasih saja yang penting dia investasi bawa duitnya dia lakukan eksplorasi,” kata dia dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Selasa (9/1/2024).
“Jadi sistem fleksibel tergantung nanti discovery-nya besar atau kecil tetapi semua kita buka kasih karpet merah bagi investor dia maunya apa itu yang kita tuangkan,” tambah Djoko.
Selain itu, yang tak kalah penting adalah terkait jangka waktu untuk investor mengembangkan proyek migasnya. Pasalnya, di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas), untuk kegiatan eksplorasi produksi migas paling lama diberikan 30 tahun tanpa menghitung rencana pengembangan atau Plant of Development (POD).
“Di Undang-Undang Migas sekarang itu cuman ada waktu eksplorasi produksi 30 tahun, lupa kalau ada waktu PoD. Masela misalnya ini belum produksi tapi kan molor-molor terus waktu PoD-nya itu sudah habis harusnya kalau kita straight peraturan ya sudah balik ke negara kita lelang lagi,” ujarnya.
Sebagai informasi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat produksi minyak siap jual atau lifting minyak Indonesia hanya 607 ribu barel per hari (bph) pada 2023. Realisasi tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan sebesar 660 ribu bph.