Dewan Perwakilan Rakyat Menyelidiki Kontroversi Biaya Kuliah yang Mencekik di Indonesia

by -120 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Biaya pendidikan di Indonesia semakin membebani. Hal ini banyak dikeluhkan oleh berbagai kalangan. Baru-baru ini, sejumlah mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) juga melakukan aksi demonstrasi terkait kenaikan Uang Kuliah Tunggal atau UKT.

Komisi X DPR yang bertanggung jawab atas pendidikan pun menginisiatif pembentukan Panitia Kerja (Panja) Biaya Pendidikan untuk memastikan biaya pendidikan di Indonesia terjangkau bagi masyarakat.

Dikutip dari CNN Indonesia, Wakil Ketua Komisi X Dede Yusuf mengatakan bahwa Panja tersebut berfungsi untuk mengetahui alasan di balik kenaikan biaya pendidikan yang sering terjadi.

“DPR juga langsung membuat Panja biaya pendidikan. Karena kita juga ingin tahu sebenarnya pembiayaan pendidikan itu seberapa dan kenapa harus menaik,” kata Dede di kompleks parlemen, Jakarta, seperti dilansir Sabtu (18/5/2024).

Dede menyampaikan bahwa Panja tersebut akan mengulas secara lengkap komponen biaya pendidikan, tidak hanya sebatas biaya kuliah tetapi juga hingga taraf sekolah dasar.

Ia menyebutkan bahwa tinjauan terhadap komponen biaya pendidikan tersebut belum pernah dilakukan sebelumnya. Akibatnya, peserta didik dan orang tua tidak mengetahui di mana kenaikan biaya pendidikan yang mereka bayarkan tersebut akan dialokasikan.

Selain akan membentuk Panja, Dede juga mengatakan bahwa Komisi X DPR akan segera memanggil Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk membahas masalah ini.

“Tak jangka panjang, Panja, Panja akan melakukan investigasi terhadap masalah pembiayaan pendidikan,” ujar dia.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Tjitjik Sri Tjahjandarie sebelumnya telah menanggapi gelombang kritik terkait UKT di perguruan tinggi yang semakin mahal.

Tjitjik menyatakan bahwa biaya kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaraan pendidikan tersebut memenuhi standar mutu.

Tjitjik juga menegaskan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa disubsidi sepenuhnya seperti di negara lain. Bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum mampu menutupi semua kebutuhan operasional.

Terkait dengan banyaknya protes terkait UKT, Tjitjik menjelaskan bahwa pendidikan tinggi termasuk dalam kategori pendidikan tersier atau tidak wajib. Ia menegaskan bahwa pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya mencakup 12 tahun, mulai dari SD, SMP hingga SMA.

“Dari sisi lain, kita dapat melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah pendidikan tersier. Jadi bukan wajib belajar. Artinya, tidak semua lulusan SMA, SMK wajib melanjutkan ke perguruan tinggi. Ini adalah pilihan,” kata Tjitjik.

Tjitjik menjelaskan bahwa pemerintah berfokus pada pendanaan untuk pendidikan wajib 12 tahun. Perguruan tinggi bukan merupakan prioritas karena masih termasuk dalam kategori pendidikan tersier.

Meskipun demikian, Tjitjik menyatakan bahwa pemerintah tetap memberikan pendanaan melalui BOPTN untuk perguruan tinggi. Namun, besaran tersebut tidak cukup untuk menutup Biaya Kuliah Tunggal (BKT), sehingga sisanya dibebankan pada setiap mahasiswa melalui UKT.

Dalam skema UKT, mahasiswa akan dikenakan biaya kuliah sesuai dengan kemampuan ekonominya. Oleh karena itu, dalam UKT terdapat beberapa golongan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi di PTN Kemendikbudristek. Kelompok UKT1 sebesar Rp500 ribu dan UKT2 sebesar Rp1 juta menjadi standar minimal yang harus dimiliki oleh PTN. Sementara besaran UKT lainnya ditentukan oleh masing-masing perguruan tinggi.

Tjitjik membantah adanya kenaikan UKT, ia menjelaskan bahwa yang terjadi adalah penambahan kelompok UKT bukan kenaikan UKT.

Belakangan ini, mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Universitas Negeri Riau (Unri), dan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan melakukan protes terhadap kenaikan UKT.

Para mahasiswa Unsoed, misalnya, memprotes kenaikan uang kuliah hingga lima kali lipat. Sementara mahasiswa Unri, seperti Khariq Anhar, memprotes ketentuan Iuran Pembangunan Institusi (IPI) dalam UKT yang harus dibayarkan oleh mahasiswa Unri.