QUALITIES OF TRUE MILITARY LEADERS

by -88 Views

Para mentor saya dari generasi ’45 adalah pemimpin lapangan, komandan pasukan tempur, dan pemimpin militer. Ada lima hal yang saya pelajari dari mereka yang telah membentuk kepribadian saya: Pertama, Patriotisme, cinta mereka pada tanah air tidak pernah pudar meskipun usia mereka sudah tua; Kedua, Kepercayaan Diri; Ketiga, Kecerdasan, mereka adalah pembelajar seumur hidup dan sangat antusias belajar tentang hal-hal di luar domain mereka; Keempat, Rasa Humor yang baik, yang memungkinkan mereka untuk terhubung secara emosional dengan bawahan dan prajurit yang mereka pimpin; Kelima, Fleksibilitas, mereka tidak terlalu terikat oleh protokol.”

Sikap dan kepemimpinan seorang pemimpin militer terbentuk di medan perang. Sebagai seorang perwira muda, saya beruntung telah menerima pendidikan, pelatihan, perawatan, dan bimbingan dari banyak tokoh perang kemerdekaan dan operator militer di awal Republik Indonesia. Pada saat itu, tidak ada jaminan bahwa Republik bisa bertahan hidup. Pemerintah tidak memiliki anggaran, baik untuk pembangunan maupun untuk militer. Kebangkitan bangsa semata-mata ditentukan oleh puluhan ribu orang Indonesia dari berbagai kelompok etnis, ras, suku, agama, dan daerah. Mereka dihadapkan pada pilihan antara bergabung dengan gelombang kemerdekaan atau memilih jalan yang aman karena risikonya terlalu besar. Namun, banyak yang memilih untuk mengorbankan nyawa mereka untuk berjuang demi kemerdekaan agar akhirnya kita bisa bebas dari belenggu kolonialisme yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Mereka adalah orang-orang yang kita kenal sebagai generasi ‘45. Mereka adalah ‘generasi pahlawan’. Mereka bisa dianggap sebagai generasi terbaik Indonesia. Sebagai seorang Taruna di Akademi Angkatan Bersenjata dan kemudian sebagai seorang perwira muda, saya merasa sangat beruntung telah memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak tokoh dari generasi ’45. Bahkan beberapa anggota keluarga saya juga bagian dari generasi ini. Kakek saya, Margono Djojohadikusumo, dipercaya oleh Bung Karno untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan ketika Bung Karno dan semua tokoh nasionalis pribumi ditangkap dan diasingkan oleh Belanda dari Jawa pada tahun 1934. Sehari sebelum Bung Karno akan diasingkan ke kota kecil Ende, di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, dia memanggil Pak Margono. Bung Karno memberikan mandat kepada kakek saya untuk membantu mendirikan Partai Indonesia Raya (PARINDRA) dan pada saat yang sama menjabat sebagai ketuanya. Pada saat itu, Partai Nasional Indonesia (PNI), partai utama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dibubarkan oleh Belanda. Hampir semua tokoh utamanya ditangkap. Ketika Bung Karno tiba di Jakarta setelah dibebaskan oleh Belanda dari pengasingan, Pak Margono segera pergi menemui beliau dan mengembalikan mandat tersebut. Demikian juga dua anaknya, Kapten Subianto Djojohadikusumo dan Taruna Sujono Djojohadikusumo juga bagian dari generasi ’45. Kedua paman saya meninggal dalam pertempuran melawan tentara Jepang di Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan, Banten pada tanggal 25 Januari 1946. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Pertempuran Lengkong, para taruna Akademi Militer Tangerang yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Daan Mogot mencoba merebut senjata dari pangkalan milik Jepang. Namun, hampir semua taruna tewas dalam pertempuran tersebut, termasuk komandannya dan kedua paman saya. Pada saat yang sama, ayah saya, Soemitro Djojohadikusumo, setelah kembali dari Belanda sebagai orang Indonesia pertama dengan gelar Doktor Ilmu Ekonomi, yang ia peroleh dari Universitas Rotterdam, segera bergabung dalam perjuangan untuk menjaga kemerdekaan Indonesia. Dia terlibat dalam penyelundupan karet dan kelapa sawit keluar dari Indonesia untuk membiayai penyelundupan senjata ke negara ini guna mendukung pasukan Indonesia. Dia juga berperan dalam mencetak uang kertas pertama Indonesia yang dikenal sebagai ORI (Oeang Republik Indonesia). Pada usia 29 tahun, dia menjadi asisten pribadi kepada Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Saya lahir pada tahun 1951, sepuluh bulan setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Kenangan pertama saya sebagai anak kecil adalah mengunjungi Taman Makam Pahlawan (TMP), di mana kedua paman saya dimakamkan dan mengunjungi rumah kakek nenek saya di hari Minggu. Kakek saya selalu mendirikan tenda militer paman saya di halaman sebelum saya tiba. Itu adalah benda yang selalu menyambut saya. Kakek saya juga menunjukkan kepada saya dua tempat tidur paman saya, ransel mereka, dan helm yang mereka simpan. Bahkan seragam mereka masih rapi dilipat, dan sepatu bot mereka diletakkan di ujung tempat tidur mereka yang selalu mengkilap. Dengan halus, kakek nenek saya menunjukkan seberapa besar mereka menghargai dan menghormati pengorbanan utama yang telah dilakukan anak-anak mereka untuk kemerdekaan, kedaulatan, dan kehormatan bangsa Indonesia. Dari situlah muncul semangat ‘45 yang disebut-sebut. Ini adalah semangat yang bertujuan untuk mengangkat Indonesia menjadi bangsa yang mandiri, patut dihormati, dan adil, dengan warga yang sejahtera, bahagia, yang setara dengan bangsa lain. Itulah atmosfer yang, secara tak sadar, menjadi bagian dari transfer nilai dari generasi ’45 ke generasi berikutnya, termasuk kepada saya. Keluarga saya adalah keluarga dari generasi ’45. Saya tumbuh dalam lingkungan pejuang kemerdekaan. Sering disebut lingkungan ‘republiken’, menggunakan terminologi waktu itu. Generasi ’45 naik menjadi populer karena mereka tidak mau diperlakukan lebih rendah daripada anjing oleh penjajah. Di masa lalu, mereka biasa mendengar frasa verboden voor Honden en Inlanders (anjing dan pribumi tidak boleh masuk) dan melihatnya tertulis di dinding banyak tempat. Bahkan pada tahun 1978, saat saya bertugas sebagai Komandan Kompi di Group 1 Kopassus, saya menemukan frasa ini di sebuah kolam renang di Manggarai, Jakarta Selatan. Itu terukir di dinding marmer di samping kolam renang. Namun, saat itu, tulisan itu tertutup lumut hijau. Rasa ingin tahu saya mendorong saya untuk memerintahkan para prajurit saya menyapu lumut. Dan membuat saya kaget, dengan jelas terlihat, frasa Belanda: Verboden voor Honden en Inlanders. Anjing dan pribumi tidak diperbolehkan masuk ke kolam renang ini. Apa yang lebih menyakitkan, adalah bahwa kami, si pribumi, datang setelah anjing. Saat itu, Belanda menganggap anjing lebih terhormat daripada kami, pribumi tanah ini. Selain tumbuh dalam keluarga pejuang kemerdekaan, saya juga beruntung bisa berinteraksi langsung dengan para tokoh kunci dari generasi ’45. Seringkali saya mengunjungi rumah Pak Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama. Pak Margono dulunya menjadi sekreterisnya. Suatu kali, ayah saya, Pak Soemitro, bahkan membawa saya ke Istana Presiden ketika saya sekitar 6 atau 7 tahun. Bung Karno melihat saya dan sebentar menggendong saya. Saat saya masih anak-anak, rumah kami sering dihuni oleh tamu-tamu. Kemudian, saya akan memahami bahwa mereka adalah tokoh penting yang memegang peran kunci dalam perang kemerdekaan dan tahun-tahun pembentukan bangsa. Begitu juga, ketika saya bergabung dengan Akademi Angkatan Bersenjata (AKABRI) di Magelang pada tahun 1970, beberapa instruktur dan komandan saya berasal dari generasi ’45. Mayor Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo, Gubernur AKABRI (1970-1974), adalah salah satu tokoh hebat yang saya temui. Tugas terakhir beliau adalah sebagai Panglima Kodam XVII/Cenderawasih, dan dia pensiun dengan pangkat Letnan Jenderal. Saya juga mengenal Brigadir Jenderal Himawan Sutanto, Wakil Gubernur AKABRI, saat saya masih taruna. Tugas terakhirnya adalah Kepala Staf Umum TNI dengan pangkat Letnan Jenderal. Saya juga berkenalan dengan Mayor Jenderal TNI Wijogo Atmodarminto, Gubernur AKABRI (1970-1974). Tugas terakhirnya adalah Pangkostrad II, dengan pangkat Letnan Jenderal. Tokoh lain yang saya kenal adalah Brigadir Jenderal TNI Sudarto, Komandan Divisi Taruna AKABRI. Selain itu, saya juga bertemu dengan Mayor Jenderal TNI Purbo S. Suwondo, Wakil Gubernur AKABRI (1962-1966). Tugas terakhirnya adalah sebagai staf Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB), sebuah agensi keamanan dalam negeri khusus dan kuat yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden Suharto, dengan pangkat Letnan Jenderal. Kemudian Mayor Jenderal Soesilo Soedarman kemudian menjadi Jenderal TNI (Hormat), tugas terakhirnya adalah Panglima Kostrad I dan IV. Saya juga bertemu dengan Kolonel Infanteri Susanto Wismoyo, yang pensiun dengan pangkat Brigadir Jenderal dan tugas terakhir Pangdam XIII/Merdeka. Selanjutnya, melalui dinas saya sebagai perwira muda, saya juga berinteraksi dengan Mayor Jenderal Benny Moerdani. Dia kemudian menjadi Jenderal TNI sebagai Panglima TNI. Brigadir Jenderal Ali Moertopo kemudian menjadi Letnan Jenderal TNI dengan tugas terakhir sebagai Wakil Kepala …

Source link