Perang antara Israel dan kelompok bersenjata Palestina, Hamas, masih terus berlangsung. Saat ini, militer Israel terus mengintensifkan serangan ke Gaza untuk menghancurkan Hamas yang telah menyerang Selatan negara itu pada 7 Oktober lalu. Imbasnya, sejumlah rumah sakit di Gaza terkena bombardir pasukan Israel sehingga menambah risiko kematian warga sipil di wilayah tersebut. Berikut perkembangan terbarunya seperti dirangkum CNBC Indonesia, Senin (30/10/2023):
1. Israel Bunuh Warga Sendiri
Eskalasi di wilayah Gaza terus meningkat setelah Israel membombardir wilayah itu dengan sporadis. Ini dilakukan Tel Aviv untuk menghancurkan kelompok milisi Gaza, Hamas, yang menyerang Negeri Yahudi itu pada 7 Oktober lalu dan menewaskan 1.400 warga serta menyandera 239 warga. Namun terungkap fakta baru di balik serangan itu. Sebuah video rekaman menunjukan seorang pilot Israel yang justru menyerang warganya sendiri saat Hamas melakukan serangan. Insiden ini terjadi saat Hamas menyerbu festival Nova. Saat itu, Israel merespon dengan menurunkan helikopter Apache dan drone bersenjata Zik untuk membendung serangan kelompok milisi itu agar tidak meluas. Namun, menurut laporan yang dimuat media berbahasa Ibrani, Yedioth Ahronoth, drone dan helikopter itu menyerang dengan membabi buta dan tidak selektif. Akibatnya, ada korban tewas yang jatuh dari pihak Israel sendiri. “Kecohan Hamas (dalam menyamar seperti warga Israel) berhasil dalam jangka waktu yang cukup lama hingga Apache harus melewati semua pembatasan. Baru sekitar pukul 09.00 beberapa dari mereka mulai menyerang teroris dengan meriam mereka sendiri, tanpa izin dari atasan,” tulis surat kabar itu dikutip The Cradle, Senin (13/11/2023). “Kecepatan tembakan terhadap ribuan teroris pada awalnya sangat besar, dan hanya pada titik tertentu pilot mulai memperlambat serangan dan dengan hati-hati memilih target,” tambah surat kabar tersebut. Kejadian ini pun juga dikonfirmasi oleh seorang warga pemukiman Yahudi Kibbutz Be’eri, Yasmin Porat. Ia menyebut warga sipil Israel juga dibunuh oleh pasukan keamanan mereka. “Mereka melenyapkan semua orang, termasuk para sandera,” kata ibu tiga anak ini kepada kantor berita Kan. “Terjadi baku tembak yang sangat, sangat hebat.”
2. Hizbullah Serbu Israel
Israel yang tengah fokus menggempur Hamas di Gaza terus diganggu oleh serangan Hizbullah dari Lebanon di perbatasan utara negara tersebut. Hizbullah, yang persenjataan roketnya diyakini lebih kecil dari Hamas, telah melakukan serangan yang relatif terbatas sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina. Pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah pada Sabtu menggambarkan front Israel sebagai “aktif”. Namun, dengan setidaknya 70 pejuang kelompok tersebut, bersama dengan beberapa warga sipil Lebanon, tewas dalam serangan balasan Israel, taktik Hizbullah telah diperluas hingga mencakup roket dengan hulu ledak 300 kg-500 kg dan drone kamikaze. Pada Minggu, Hizbullah mengaku bertanggung jawab atas serangan peluru kendali yang menurut Israel melukai setidaknya dua pekerja perusahaan listrik yang dikirim untuk melakukan perbaikan di komunitas perbatasan. Serangan mortir melukai tujuh tentara Israel. Sebuah roket membunyikan sirene di dekat kota pelabuhan Haifa di Israel, 27 km (17 mil) dari perbatasan Lebanon, tetapi tidak menimbulkan korban jiwa. Sayap Hamas di Lebanon pun mendapat pujian atas peluncuran tersebut. Sementara itu, Israel mengatakan angkatan udara dan artilerinya menyerang Hizbullah dan sasaran lainnya di Lebanon sebagai tanggapannya, dengan mengatakan bahwa pihaknya menganggap kelompok tersebut dan pemerintah Beirut bertanggung jawab atas semua permusuhan.
3. Arab Satu Suara
Arab Saudi dan negara-negara Muslim lainnya menyerukan diakhirinya operasi militer Israel di Gaza. Mereka juga menolak pembenaran Negeri Zionis atas tindakannya terhadap warga Palestina sebagai bentuk pembelaan diri. Pernyataan komunike terakhir tersebut dirilis saat KTT Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang digelar di Riyadh pada Sabtu (11/11/2023). Para negara yang tergabung mendesak Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) untuk menyelidiki “kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan Israel” di wilayah Palestina. Arab Saudi berupaya menekan Amerika Serikat (AS) dan Israel agar mengakhiri permusuhan di Gaza. Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS), penguasa de facto kerajaan tersebut, menegaskan “kecaman dan penolakan tegas kerajaan terhadap perang biadab terhadap saudara-saudara kita di Palestina”. “Kita menghadapi bencana kemanusiaan yang membuktikan kegagalan Dewan Keamanan dan komunitas internasional untuk mengakhiri pelanggaran mencolok Israel terhadap hukum internasional,” katanya dalam pidatonya di pertemuan puncak tersebut, seperti dikutip Reuters.
4. Biden Buka Peluang Gencatan Senjata
Presiden Amerika Serikat (AS) memberi pernyataan mengejutkan soal Gaza. Akhir pekan lalu, ia menegaskan tak ada peluang gencatan senjata di kantong Palestina itu alias 0%. “Tidak ada. Tidak ada kemungkinan,” kata Biden saat menanggapi wartawan sebagaimana dimuat Anadolu dikutip Senin (13/11/2023). Namun Biden tetap optimis soal sandera. Menurutnya pihaknya tak akan berhenti sampai Hamas membebaskan mereka. “Kita tak akan berhenti sampai kita mendapatkan mereka (semua sandera),” tambahnya lagi. Pernyataan ini datang setelah Juru Bicara Keamanan Nasional John Kirby mengumumkan bahwa Israel akan memberi waktu empat jam “jalur kemanusiaan”. Di mana negara itu akan menyetop serangan selama empat jam per hari di Gaza bagian utara. Jeda singkat ini diklaim bakal memungkinkan bantuan kemanusiaan untuk dipindahkan ke wilayah di mana bantuan tersebut dilaksanakan. Kirby mensinyalir, hal itu akan memungkinkan warga Palestina “keluar dari bahaya”. Menurut Kementerian Kesehatan di Gaza, korban jiwa telah mencapai 11.240, termasuk 4.630 anak-anak. Angka ini merupakan gabungan sejak 7 Oktober. Israel sendiri mencatat 1.400 meninggal, yang direvisi sendiri menjadi 1.200 orang.
5. WHO Teriak
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan Rumah Sakit (RS) terbesar Gaza, Al-Shifa telah mati listrik selama tiga hari akibat kurangnya pasokan bahan bakar. Ini berarti RS itu telah tak mampu lagi menjadi rumah sakit. “Sayangnya, rumah sakit tersebut tidak lagi berfungsi sebagai rumah sakit,” kata lembaga itu. RS Al Shifa telah lama menjadi tempat yang difokuskan untuk merawat korban serangan Israel. Lokasi itu juga telah menjadi shelter penampungan bagi mereka yang ingin mencari keamanan dari serangan. Juru Bicara Kementerian Kesehatan Gaza, Dr. Ashraf Al Qidra, mengatakan kompleks Al Shifa “tidak berfungsi” setelah berulang kali menjadi sasaran tembakan Israel dan “unit perawatan intensif, departemen anak, dan perangkat oksigen telah berhenti berfungsi.” Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan dalam sebuah wawancara dengan CNN pada hari Minggu bahwa “tidak ada alasan” pasien tidak dapat dievakuasi dari Al-Shifa. Netanyahu mengatakan Israel membantu pasien dengan membangun koridor aman di lapangan dan mengatakan bahwa “100 atau lebih” pasien telah dievakuasi dari rumah sakit. CNN tidak dapat memverifikasi secara independen apakah ada orang yang bisa dievakuasi dan direktur rumah sakit mengatakan orang-orang takut untuk keluar.
6. Israel Buka Koridor Evakuasi
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengatakan bahwa koridor evakuasi bagi penduduk Gaza utara dibuka kembali pada hari Senin. Avichay Adraee, juru bicara IDF dalam bahasa Arab, mengatakan “jalur aman tetap dibuka hari ini antara pukul 09:00 hingga 16:00 (02:00 – 09:00 ET) untuk tujuan kemanusiaan melalui poros Salah El-Din ke arah daerah selatan Wadi Gaza” dalam unggahan di X. Tidak jelas sejauh mana pengumuman koridor tersebut diketahui di Gaza, di mana hanya terdapat sedikit konektivitas internet atau layanan seluler. Laporan dari dalam Gaza menunjukkan bahwa beberapa warga sipil takut meninggalkan tempat-tempat seperti rumah sakit tempat mereka berlindung, sementara yang lain enggan meninggalkan rumah mereka.
7. Gudang Pengungsi Gaza Diserbu Israel
Organisasi bantuan PBB yang beroperasi di Gaza, UNRWA, mengatakan bahwa salah satu lokasinya di Rafah di Gaza selatan mengalami kerusakan parah setelah dihantam serangan angkatan laut Israel pada hari Minggu. Tidak ada korban jiwa, karena staf internasional PBB telah meninggalkan gedung 90 menit sebelum serangan, kata UNRWA dalam sebuah pernyataan Senin. “Serangan baru-baru ini merupakan indikasi lain bahwa tidak ada tempat di Gaza yang aman. Bukan wilayah utara, bukan wilayah tengah, dan bukan wilayah selatan. Pengabaian terhadap perlindungan infrastruktur sipil termasuk fasilitas PBB, rumah sakit, sekolah, tempat penampungan dan tempat ibadah merupakan bukti tingkat kengerian yang dialami warga sipil di Gaza setiap hari,” kata Komisaris Jenderal UNRWA Philippe Lazzarini.
8. Israel-AS Diskusi soal Masa Depan Gaza
Israel sedang memikirkan rencana jangka panjang untuk Gaza dan sedang mendiskusikan masalah ini dengan Amerika Serikat (AS). Ini disampaikan Duta Besar Israel untuk AS, Michael Herzog. Dalam sebuah wawancara di Fox News Sunday, Herzog menyebut posisi Israel adalah bahwa orang-orang Palestina harus memerintah diri mereka sendiri. Namun ia mengindikasikan rencana ini tidak akan didukung penuh oleh Pemerintah Israel saat ini. Duta Besar mengatakan Israel tidak tertarik menduduki atau memerintah Gaza, dan menambahkan bahwa keamanan adalah prioritas utama. “Kami berada di sana untuk mengalihkan ancaman militer Hamas terhadap Israel dan kemampuan mereka untuk membangun kembali kemampuan mereka dan menyerang lagi dan lagi, seperti yang mereka katakan ingin mereka lakukan. Itu niat kami,” kata Herzog.
9. Evakuasi WNA dari Gaza
Lebih dari 800 warga negara asing (WNA) melewati penyeberangan Rafah ke Mesir pada hari Minggu, kata seorang pejabat perbatasan Mesir kepada seorang jurnalis CNN. Ini merupakan jumlah terbesar WNA yang telah melewati penyeberangan tersebut dalam satu hari sejak evakuasi dari daerah kantong Gaza dimulai akibat eskalasi konflik antara Hamas dan Israel. WNA, termasuk warga Amerika Serikat, telah dievakuasi dan keluar ke Mesir melalui penyeberangan Rafah setelah meninggalkan Gaza. Pejabat Mesir mengatakan mereka memasuki Mesir melalui penyeberangan dan akan menerima bantuan konsuler sebelum berangkat ke negara mereka masing-masing. Mesir juga membantu keberangkatan orang-orang Palestina, tetapi dalam waktu yang lebih pendek dan dengan prosedur yang lebih ketat daripada WNA.